REUNI KELUARGA BESAR ADONARA JAWA TIMUR



Adonara, nama yang lebih memberi ciri antropologis ketimbang letak geografis. Secara geografis,
Adonara merupakan sebuah pulau kecil di Kepulauan Solor, Nusa Tenggara Timur, berpenduduk sekitar ± 106.334 dan terbagi menjadi 8 kecamatan dengan kondisi sumber daya alam yang cukub menjanjikan bagi usaha pertanian maupun kelautan. Terletak pada koordinat bujur timur-lintang selatan, keberadaan pulau ini sangat fenomenal namun jarang disebut. Panorama alam yang masih natural dan eksotis memberi nuansa romantisme masa lalu yang memikat.
Secara antropologis, masyarakat Adonara termasuk rumpun bangsa Lamaholot dan hidup sebagai petani dengan memeluk agama katolik di wilayah pedalaman, dan sebagai nelayan dengan memeluk agama Islam di wilayah pesisir pantai, namun jejak-jejak kepercayaan terhadap Rera Wulan Tanah Ekan masih terpraktekan. Tidak hanya karakteristik fisik namun nilai-nilai budaya pun sangat identik seperti tolerasi dan pluralisme dalam keberagaman. Tidaklah berlebihan ketika orang mengatakan bahwa; Jika ingin belajar toleransi dan pluralisme, belajarlah ke NTT; belajarlah ke Adonara. Penilaian yang demikian tidaklah hadir pada ruang kosong namun fakta bahwa NTT terdiri dari berbagai suku, bahasa, agama dan warna kulit yang berbeda.
Kebijakan sektoral dengan slogan “berdiri diatas kaki sendiri”, berujung pada kegamangan hidup di kampung halaman dan menjadi alasan yang sangat normatif bahwa keputusan merantau guna mencari penghidupan yang lebih layak. Pesan moral Gelekat Lewotana (berbakti pada kampung halaman) menjadi makna yang sangat filosofis, turut mengilhami kawula Adonara terangkut gerbong ke tana sina jawa (pulau jawa) guna membangun lewotana yang lebih bermartabat dan mandiri, merupakan tanggung jawab final.
Membangun lewotana tidak harus pulang ke kampung halaman, namun semangat cinta lewotana dan jiwa patriotisme tetap harus berkobar di tanah rantau. Idealisme sederhana tersebut mengekspresikan spirit memuliakan  modal sosial dengan menjunjung tinggi nilai kebudayaan. Maka Ikatan Keluarga Adonara Surabaya (IKA-S) berkeinginan menggelar acara Reuni Keluarga Besar Adonara Jawa Timur. Besar harapan, masyarakat Adonara yang berdiaspora di Jawa Timur diharapkan memberikan perspektif kebudayaan baru, yang mampu berdialog dengan budaya lain. Gagasan strategis tersebut dapat meredam sindrom inferioritas sebagai terompet tahun baru; don’t say good bye Adonara.



Terpaan arus globalisasi yang dahsyat tidak bisa direspon dengan taktis, praktis, apalagi latah di tengah masyarakat yang dinamis. Sentakan sosial oleh masyarakat tengah mendistorsi otensitas dan humanisme. Dalam perspektif praktek  hidup dan penyebaran budaya menjadi persoalan internal kebudayaan itu sendiri, dimana kontribusi mengalami kebuntuan. Virus tidak bangga dengan budaya sendiri dan lebih senang menyerap budaya asing adalah fenomena betapa masyarakat kita terhanyut oleh terpaan budaya instan global.
Budaya lokal Lamaholot (Adonara) yang beraneka ragam merupakan warisan budaya yang wajib dilestarikan. Ketika daerah lain yang hanya sedikit mempunyai warisan budaya lokal berusaha keras untuk dilestarikan demi sebuah identitas, maka sungguh naif jika Adonara yang memiliki banyak warisan budaya lokal lantas mengabaikan kerja pelestarian demi menggapai burung terbang sementara punai di tangan dilepaskan. Beragam wujud warisan budaya lokal memberi kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Persolan kearifan budaya lokal seringkali diabaikan, dianggap tidak relevan dengan masa sekarang apalagi masa depan. Dampak yang ditimbulkan adalah banyak warisan budaya yang lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan eksitensinya.
Pilihan sadar fundamental yang diambil yaitu motivasi simbolik guna meyakini bahwa budaya lokal adalah manifestasi dari jati diri kelompok/masyarakat  untuk dapat menumbuh-kembangkan kebanggaan, harga dan kepercayaan diri yang kuat. Hal ini membawa muatan ideologis berupa pengukuhan kekuatan budaya yang dibawa (komunitas urban) untuk mendorong rasa memiliki masa lalu yang sama, agar Adonara beranjak dari buritan menuju peradaban yang utama.
Adonara in 2014 adalah Adonara bak permata NTT. Selain keindahan alam, pulau ini memiliki catatan sejarah yang mengkilap dengan pelangi budaya yang kian menampakan diri. Memadukan sekian banyak aspek dalam satu kemasan dengan meminjam medium karya  untuk menampilkan “Nuansa kekeluargaan, keakraban dan kesederhanaan dalam bingkai budaya”.
Sangat disayangkan apabila kisah heroik mitologi Adonara akan menjadi legenda ditengah rutinitas peran dan menjadi seonggok catatan sejarah. Pergulatan kehidupan, cita-cita maupun ide tidak dapat begitu saja dilaksanakan, karena realitas selalu lebih konservatif. Jangan heran jikalau hubungan antar pribadi, bahkan antar sesama orang Adonara jarang bisa bersua bahkan saling menyapa dalam sebuah  persaudaraan sejati.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa upaya pelestarian budaya lokal oleh masyarakat Adonara bermuara pada persaudaraan abadi. Bukan lagi persaudaraan lantaran kita saling menyapa, menjawab salam, dan satu tempat teduh. Tetapi persaudaraan lebih dari segala itu, dimana  “kau dan aku menjadi satu.” Satu atau banyak orang akan mengenangnya sebagai bagian inheren dari ingatan pribadi atau bahkan ingatan kolektif suatu masa yang sebenarnya sudah terlewati tetapi tidak akan sungguh-sungguh beranjak.
Sejalan dengan upaya rekonstrukasi nilai-nilai budaya lokal di tanah perantauan, nilai-nilai luhur seperti tolerasi dan pluralisme yang sangat identik dan berkarakter, perlu untuk diwacanakan kembali dengan sebuah komitmen “Mengukuhkan Adonara Sebagai Miniatur Kebhinekaan Indonesia.