Catatan Hati
Dari awal sampai terakhir, kata kuncinya adalah kita. Dari sudut pandang anak, anak tak pernah siap ayah ibunya pecah. Juga tak ada antara kita, ayah ibu anak-anak yang sejak kecil menyiapkan anaknya untuk kemungkinan terhempas karena biduk rumah tangga pecah. Sehingga anak selalu menjadi korban utama perpecahan.
Mereka, anak-anak kita tak pernah mau.
Mimpinya, orangtuanya harus tetap utuh.
Bapaknya, sebagaimanapun nakalnya, dia harus tetap bersamanya. Seperti satu surat elektronik dari seorang anak perempuan tentang bapaknya:
“Ku pastikan aku memang jarang bertemu ayah dibanding ibu lantaran ayah bekerja di luar rumah dan pulang ketika kami telah bersama-sama letih untuk berbicara satu sama lainnya. Tapi aku percaya, mungkin ibu yang lebih kerap menelpon untuk menanyakan keadaanku setiap hari, tapi aku tahu, sebenarnya ayahlah yang mengingatkan ibu untuk menelponku..
Semasa kecil, ibuku-lah yang lebih sering menggendongku, tapi aku tahu, ketika ayah pulang bekerja dengan wajah yang letih, ayahlah yang selalu menanyakan apa yang aku lakukan seharian. Walau beliau tak bertanya langsung kepadaku karena saking letihnya mencari nafkah, dan melihatku terlelap dalam tidur nyenyakku, ku tahu, ia kecup keningku dalam tidurku.
Saat aku demam, ayah membentak “Sudah diberitahu jangan minum es..!!” lantas aku merenggut dan menjauhi ayahku dan menangis di depan ibu. Tapi aku tahu, ayahlah yang risau dengan keadaanku; sampai beliau hanya bisa menggigit bibir menahan kesakitanku.
Ketika remaja, aku meminta keluar malam, ayah dengan tegas berkata “TIDAK BOLEH..!!” sadar, ayahku hanya ingin menjagaku karena beliau lebih tahu apa yang ada di luar.
Karena bagi ayah, aku adalah sesuatu yang sangat berharga..
Saat aku sudah di percaya olehnya, ayahpun melonggarkan peraturannya. Maka kadang aku melonggarkan kepercayaannya. Ayahlah yang setia menunggu di ruang tamu dengan rasa sangat risau, bahkan sampai menyuruh ibu untuk mengontak beberapa temanku untuk menayakan keadaanku dimana dan sedang apa di luar.
Setelah dewasa, walau ibu yang mengantar aku ke sekolah untuk belajar, tapi aku tahu, ayahku yang berkata, “Bu, temani anakmu!! Aku akan pergi mencari nafkah untuk kita bersama.”
Disaat aku merengek memerlukan ini itu untuk keperluan kuliahku, ayah hanya mengerutkan dahi tanpa menolak, beliau memenuhinya dan cuma berpikir “kemana aku harus mencari uang tambahan, padahal gajiku pas-pasan dan sudah tak ada lagi tempat tuk meminjam?”
Saat aku berjaya, ayah adalah orang pertama yang berdiri dan bertepuk tangan untukku. Ayahlah yang mengabari sanak saudara “anakku sekarang sudah sukses”. Dalam sujudnya, ayah juga tidak kalah dengan doa ibu, cuma bedanya, ayah simpan doa itu di dalam hatinya.
Sampai ketika aku menemukan jodohku, ayahku sangat berhati-hati mengizinkannya. Dan akhirnya saat ayah melihatku duduk di atas pelaminan bersama pasanganku, ayahpun tersenyum bahagia. Lantas aku menengok ayah sempat pergi ke belakang dan menangis, ayah menangis karena beliau sangat bahagia dan beliaupun berdoa “Ya Tuhan, tugasku telah selesai dengan baik, bahagiakanlah putra-putri kecilku yang manis bersama pasangannya”♥
Kuakhiri tulisanku ini dengan sebuah bait lagu,
“Untuk ayah tercinta, aku ingin bernyanyi
Dengan air mata di pipiku..
Ayah, dengarkanlah, aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi..”
How I’d love, love, love to dance with my father and my mother again
(Maman Suherman)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar