Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Frans Lebu Raya (FLR), dan Bupati
Flores Timur Yoseph Lagadoni Herin (YLH) dituntut pertanggungjawaban
moral dan politik atas pernyataan dan janji yang memastikan Adonara
menjadi DOB, dengan menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh
masyarakat Adonara sekaligus mengundurkan diri secara terhormat.
Demikian salah satu tuntutan dari mahasiswa dan pemuda Adonara
Diaspora yang tergabung dalam Forum Kelompok Diskusi (ForkDisk) Satu
Lamaholot melalui siaran pers yang ditandatangani oleh Koordinator
Christo Kabelen kepada redaksi pada Senin (13/10/2014).
“Gagalnya Adonara sebagai sebuah Daerah Otonom Baru (DOB) pada
tanggal 29 September 2014 lalu, telah membuktikan pernyataan Gubernur
NTT Drs. Frans Lebu Raya dan Bupati Flores Timur Yoseph Lagadoni Herin,
S.Sos pada setiap kesempatan yang memastikan bahwa Adonara akan menjadi
sebuah DOB dalam waktu dekat, sama sekali tidak memiliki kebenaran
performatif,” tulis ForkDisk Satu Lamaholot.
Perjuangan Adonara menjadi sebuah DOB telah dijadikan sebagai barang
dagangan (komoditas) politik oleh segelintir elite politik pada setiap
hajatan politik (Pilbup Flotim pada tahun 2010, Pilgub NTT dan Pileg).
Dilihat dari dinamika proses perjuangan Adonara menjadi sebuah DOB
terkesan kerja-kerja yang dilakukan selama ini sangat elitis. Dalam
artian perjuangan Adonara menjadi sebuah DOB berasal dari atas sebagai
kehendak para elite (top down) dan bukan sebaliknya dengan melibatkan
partisipasi setiap elemen masyarakat Adonara (bottom up).
“Pembentukan DOB merupakan otoritas penuh dari Pemerintah (Pusat) dan
DPR RI, sebagaimana yang digariskan dalam UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Dengan demikian tidak dapat dibenarkan Gubernur NTT
dan Bupati Flotim memberikan pernyataan atau informasi kepada publik
seolah-olah memiliki otoritas untuk menetapkan Adonara sebagai sebuah
DOB. Masyarakat Adonara dimobilisir untuk mengadakan acara syukuran
bersama pada tanggal 25 dan 29 september di Kelurahan Waiwerang-Adonara
mendahului penetapan paripurna DPR, ini hal yang sangat tidak masuk
akal,” tegas ForkDisk Satu Lamaholot
Kehadiran UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai
pengganti UU No. 32/2004, menggariskan pembentukan DOB hanya melalui
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dilakukan melalui tahapan daerah
persiapan selama 3 (tiga tahun) yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah (PP), setelah melewati masa persiapan diusulkan ke DPR untuk
ditetapkan sebagai DOB dengan UU. Dengan demikian pembentukan Adonara
sebagai sebuah DOB otomatis berproses dari awal disesuaikan dengan UU
No. 23/2014.
ForkDisk Satu Lamaholot juga menuntut pertanggungjawaban sekaligus
pembubaran Tim 8 dan Panitia Persiapan Adonara Kabupaten (PPAK), serta
transparansi penggunaan uang daerah dari Pemkab Flotim yang memboyong
rombongan sebanyak 70-an orang ke Jakarta untuk menyaksikan pengesahan RUU DOB Adonara pada tanggal 23-29 september yang lalu.
Optimalisasi pembangunan
ForkDisk Satu Lamaholot menguraikan hasil kajian Tim PLOD UGM pada
tahun 2008 sebagai salah satu syarat (syarat teknis) pembentukan Adonara
sebagai DOB, memberikan gambaran persoalan dasar yang melilit Adonara
(kemiskinan, keterisolasian dan konflik) perlu diatasi melalui
optimalisasi pembangunan sebagai penyiapan kapasitas Adonara sebagai
sebuah DOB. Dengan demikian dibutuhan tekad (political will) Pemerintah
Daerah setempat bersama seluruh lapisan masyarakat Adonara untuk
menindaklanjuti rekomendasi tersebut dengan upaya-upaya konkrit yang
terencana secara baik.
“Kami sarankan kepada seluruh masyarakat Adonara maupun masyarakat
Adonara diaspora untuk senantiasa mengupayakan pelesatarian nilai-nilai
kemandirian melalui pranata lokal, tanpa harus terjebak pada pola pikir.
“Pengkrangkengan nilai-nilai kemandirian dalam sebuah institusi (kelembagaan) sejenis DOB, dsbnya,” kata ForkDisk Satu Lamaholot.
Pemkab dan DPRD Flotim didesak melakukan optimalisasi pembangunan
berparadigma otonomi desa: menetapkan Lewotanah sebagai Desa Adat dalam
rangka penyelenggaraan otonomi desa; menggagas pembentukan Dewan Adat
Adonara yang bersifat kolektif-kolegial beranggotakan para pemangku adat
dari setiap Desa Adat (Lewotanah), sebagai wadah penghimpun aspirasi
seluruh lapisan masyarakat dalam rangka persiapan Adonara sebagai DOB;
dan penataan hak ulayat atas tanah berdasarkan Hukum Adat yang berlaku,
dalam rangka meminimalisir konflik agraria di Adonara
Sumber: KOMODONEWS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar