Kartolo dan Perjalanan di Dunia Seni

Kartolo dan Perjalanan di Dunia Seni

Cinta Mati pada Ludruk
Cak Kartolo...
Cak Kartolo...

Nama Kartolo atau lebih akrab dipanggil Cak Kartolo sudah tidak asing di dunia seni. Dia sering mendapatkan penghargaan atas dedikasinya melestarikan seni ludruk. Sebagai seorang pribadi, Kartolo adalah sosok yang sederhana dan rendah hati.
Ditemui di kediamannya, kawasan Kupang (26/8/2008), Kartolo terlihat segar. Saat ditanya berapa umurnya, dia bingung menjawab. ''Kalau di KTP tertulis tahun lahir saya 1947,'' katanya. Tetapi, dia sebenarnya lahir pada 1945. ''Maklum, dulu tidak ada aktanya,'' ucap pria berkumis tersebut.
Kartolo lahir di Pasuruan. Saat berumur tiga tahun, dia pindah ke Surabaya karena ayahnya, (alm) Aliman, bekerja di pabrik tenun daerah Juwingan. Tiga tahun kemudian, saat sang ayah meninggal, dia dan ibunya kembali ke kota kelahiran.
Mesem disik rek...
Mesem disik rek...

Di Pasuruan itulah, Kartolo mulai mengenal seni. Tepatnya ketika duduk di kelas enam sekolah rakyat. Di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, banyak pemain karawitan. Dia pun mulai belajar memainkan alat-alat musik karawitan. "Alat musik yang pertama kali saya pelajari itu gambang," ujarnya.
Dari belajar karawitan, Kartolo mulai mengiringi ludruk dan tayuban. Sebenarnya, darah seni sama sekali tidak mengalir di dalam darahnya. ''Ayah saya kerja di pabrik tenun, ibu saya petani,'' terang dia.
Bermula dari karawitan, Kartolo lantas mulai belajar menguasai kesenian yang lain. Termasuk ludruk. Pada 1960, untuk kali pertama dia manggung bersama kelompoknya. Respons yang didapat memuaskan. Namun, lima tahun kemudian, saat meletus G-30-S/PKI, Kartolo berhenti. "Dulu kan sempat dilarang," tuturnya.
Pada 1967, Kartolo kembali aktif ngludruk dengan bergabung bersama kelompok Sipur Lima Ludruk Dwikora. Pada 1969, dia pindah ke Ludruk Gajah Mada. Begitu seterusnya. Dengan pertimbangan ekonomi, dia berpindah-pindah, mencari grup yang punya jam manggung tinggi.
Kartolo in Action...
Kartolo in Action...

Hingga pada 1971, Kartolo bergabung dengan Ludruk RRI. Dia berada di sana hanya tiga tahun. Ketika memutuskan untuk menikah dengan temannya, Kastini, pada 1974, Kartolo memilih keluar dari grup tersebut dan menjadi seniman "freelance".
Perkenalan Kartolo dengan Kastini sendiri terjadi sekitar 1972. Mereka merupakan sesama pemain ludruk. Sering dipasangkan sebagai suami istri, lama-lama tumbuh benih cinta sebenarnya. Setelah pacaran setahun, mereka memutuskan untuk menikah.
Pada 1976-1980, Kartolo kembali bergabung dengan sebuah grup ludruk bernama Persada Malang. Guyonannya yang khas membuat namanya kian melejit. Sampai akhirnya dia mendapatkan tawaran rekaman kaset. Mulailah Kartolo membuat kaset-kaset ludruk. Merasa masih memiliki potensi, Kartolo lantas melebarkan jalur seni menjadi pelawak.
Total, hingga pada 1995, Kartolo sudah memiliki 95 kaset rekaman ludruk. Meski demikian, jangan bayangkan dia sekarang hanya berleha-leha menikmati royalti dari hasil karyanya yang masih sering diperdengarkan di radio-radio itu. "Dulu kalau habis rekaman dapat uang langsung. Nggak ada royalti," jelas anak kedua dari empat bersaudara tersebut.
Kartolo CS...
Kartolo CS...

Kartolo sendiri tidak menyangka dirinya bisa eksis di dunia seni hingga saat ini. Sampai sekarang dia masih menerima tawaran manggung. Meski tak seramai dulu, dalam sebulan pasti ada saja orang yang mengundang. Kartolo pun merasa tak perlu mencari pekerjaan lain.
Hidupnya yang lumayan berkecukupan saat ini benar-benar ditopang dari profesi sebagai seniman. "Saya sudah terlalu cinta sama ludruk. Nggak pengen dagang atau melakukan hal lain," tegasnya.
Saat ini, kalau sedang tidak ada jadwal manggung, Kartolo lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain bersama cucu, menonton televisi, atau berolahraga badminton. "Saatnya menikmati hidup," tuturnya lantas tersenyum.

Referensi & sumber foto:
- jawapos
- id.wikipedia.org/wiki/Kartolo


www.SURBAYA.com ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar